"Obral Izin" Pelabuhan Ancam Ekosistem Pesisir Kutai Timur

Written By Unknown on Sabtu, 25 Januari 2014 | 12.16

SANGATTA, tribunkaltim.co.id- Kabupaten Kutai Timur memiliki garis pantai 152,5 kilometer, yang membentang dari kawasan Teluk Pandan hingga Tanjung Mangkaliat. Namun siapa sangka di sepanjang garis tersebut bakal berdiri lebih dari 24 titik pelabuhan.

Mayoritas merupakan pelabuhan khusus (pelsus) batu bara, crude palm oil (CPO), semen, dan BBM yang dibangun pihak swasta. Dan sisanya pelabuhan milik pemerintah yang didanai uang rakyat. Luasnya pun beragam, mulai dari puluhan hingga ratusan hektar.

Informasi yang diperoleh Tribun, sebagian pelabuhan sudah digunakan (eksisting) dan sebagian lain sudah memperoleh izin dan bersiap melaksanakan pembangunan. Tak hanya pelabuhan, sebagian juga terkoneksi dengan jalan penghubung (hauling road), baik kebun sawit maupun tambang.

Hal ini mengundang sorotan dari berbagai kalangan. Termasuk Niel Makinuddin, pemerhati lingkungan dan sosial Kalimantan Timur. Berikut analisanya yang dikirimkan kepada tribunkaltim.co.id
 
                                                                    ----------------------------

SAYA sungguh terkejut mendengar rencana pembangunan, setidaknya, 4 titik pelabuhan umum dan 20 titik pelabuhan khusus (pelsus) di pesisir Kutai Timur ini. Secara harfiah, kalau jumlahnya lebih dari tiga pelabuhan, sebetulnya sudah tidak bisa lagi disebut dengan pelabuhan khusus. Lebih tepat disebut dengan pelabuhan jamak atau obral (on sale).

Saya sedih membayangkan berapa banyak ekosistem mangrove atau bakau yang akan dibuka dan dirusak untuk mengakomodasi pembangunan  pelsus-pelsus ini. Padahal eksosistem mangrove di pesisir Kutim merupakan salah satu ekosistem mangrove terbaik yang ada di Indonesia.

Hal lain, pelsus ini akan menjadi precedent buruk bagi Kutim di masa depan. Sebab pemilik modal khususnya pendatang baru– yang akan berinvestasi di daerah ini tentu berhak diperlakukan secara khusus. Mereka tidak boleh ditolak karena investor sebelumnya pun diperlakukan sedemikian khusus.

Sehingga pertanyaannya adalah, akan ada berapa banyak lagi ekosistem bakau (mangrove) yang harus dikorbankan untuk melayani kepentingan investasi yang kebanyakan merupakan investasi yang bersifat "mengeruk" kekayaan SDA anak cucu masyarakat Kutim. Plus, pemda di daerah lain bisa jadi akan menjadi sasaran tembak oleh pemilik modal untuk diperlakukan secara khusus seperti yang sekarang sedang terjadi di Kutim. 

Saya kira sudah sangat jelas bahwa pembangunan 24 pelabuhan ini akan menjadi ancaman sangat serius bagi ekosistem pesisir dan mangrove. Kita harus meletakkan konteks 20 pelsus ini secara lebih proporsional dan kontekstual. Pembangunan pelsus-pelsus ini secara fisik akan membongkar ekosistem mangrove Kutim dalam jumlah sangat fantastis.

Kalau seandainya setiap pelabuhan memerlukan lahan 10 hektar, maka total akan ada 240 hektar ekosistem mangrove yang akan dibongkar. Kemudian, akan ada 24 jalan pendekat yang juga perlu membongkar ekosistem mangrove maupun ekosistem hutan lainnya dalam jumlah yang tidak sedikit. Apalagi informasi awal yang saya peroleh, kebutuhan lahan pelabuhan Kutim mencapai lebih dari 3.666 hektar.

Lebih dari itu, pembangunan jalan pendekat tentu akan mengundang terjadinya perambahan besar-besaran dan spekulasi lahan secara masif sehingga dampak kerusakan terhadap sumberdaya hutan akan lebih besar lagi. Dalam catatan saya, belum ada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur ini yang mampu mengelola dan menertibkan perambahan hutan oleh masyarakat.

Hal sangat penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah sebuah fakta di depan mata kita yakni halaman depan Kalimantan Timur – lebih khusus lagi Kutai Timur – ini adalah Selat Makasar yang merupakan kawasan dengan kekayaan terumbu karang dan ikan termasuk salah satu yang terbaik di dunia. Yang merupakan bagian integral ekosistem Segitiga Karang Dunia (World Coral Triangle).

Ekosistem ini merupakan asset dan sumber ekonomi masa depan bangsa ini baik sebagai sumber aneka ikan – baik untuk dikonsumsi maupun ikan hias – maupun wisata alam yang hebat. Kita semua mengetahui bahwa tulang punggung kehidupan dan ekosistem laut itu ada 2 yakni mangrove dan terumbu karang.

Sehingga, bila semakin banyak ekosistem mangrove yang dibongkar atau dikonversi untuk pelsus, maka bisa dipastikan keberlangsungan kehidupan laut pun terancam. Padahal laut adalah asset paling vital bagi pengembangan ekonomi biru bangsa ini. Lalu, jutaan nelayan dari Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan daerah lain yang menggantungkan hidupnya di wilayah Segitiga Karang Dunia ini akan kesulitan dan gulung tikar. 

Perlu diketahui juga bahwa dalam konteks cadangan karbon, ekosistem Bakau yang berada di sepanjang pantai Kalimantan Timur sangat strategis dan penting. Muhlenberg, mengutip penelitian Ocean and Coastal Policy Program Duke University menyebutkan, menghancurkan 1 hektar hutan mangrove, emisinya setara dengan menebang 3-5 hektar hutan tropis. 

Saya kira solusinya adalah dengan mengintegrasikan rencana pembangunan 20-an pelsus tersebut kedalam pelabuhan seperti KIPI Maloy atau Kenyamukan. Dari segi pengawasan, akan lebih mudah dikontrol dinamikanya maupun tingkat kerusakan lingkungan hidupnya maupun dampak sosialnya.

Disinilah diperlukan keberanian dan ketegasan dari pimpinan daerah untuk menjamin kualitas kehidupan masyarakat Kutim jauh ke depan. Sebab, kerusakan lingkungan dalam skala ekosistem selalu memiliki dimensi multi-years dan dampaknya tidak bisa dilokalisir di suatu tempat saja.

Jika sudah integrasi, maka pelsus yang ada sebaiknya segera ditutup dan dihijaukan kembali agar fungsi dan jasa lingkungan bisa pulih kembali. Soal teknis dan tahapan penutupan dan penghijauan tentu diesuaikan dengan aturan dan kondisi yang berkembang.

Secara spiritual, alam atau bumi ini sejatinya memiliki kemiripan dengan tubuh manusia. Ada beberapa bagian dari tubuh manusia itu yang harus ditutup (baca: dilindungi), yang dalam istilah agama disebut dengan aurat. Bumi pun demikian. Ada bagian-bagian tertentu dari bumi ini yang tetap harus dilindungi.

Nah, bagian yang dilindungi itu bisa saja disebut dengan hutan lindung, kawasan konservasi, cagar alam, dan lainnya. Intinya, sebagai orang beriman tentu akan menjaga auratnya. Sebab, bila aurat dibuka seluruhnya, maka kemurkaan Pemiliki dan Pemelihara alam semesta ini bisa dipastikan akan terjadi. Bencana pasti akan semakin sering datang menyapa.
 
Sebagai penutup, saya menyarankan agar Pemda tidak mengobral ijin yang arahnya kepada pembukaan ekosistem mangrove dalam skala luas. Pemda harus berani membela kepentingan publik dengan cara melindungi ekosistem mangrove. Kita musti peka terhadap bencana yang saat ini terjadi seperti banjir dan curah hujan yang ekstrem.

Bencana ini merupakan wujud paling nyata dari perubahan iklim yang diakibatkan oleh tindakan manusia yang terus melakukan kerusakan di muka bumi. Perlu rasanya dikutip nasehat para 'alim terkait kerusakan alam, "bila kita belum tahu cara memperbaikinya, maka hendaklah kita tidak menambah kerusakannya". (*)


Anda sedang membaca artikel tentang

"Obral Izin" Pelabuhan Ancam Ekosistem Pesisir Kutai Timur

Dengan url

http://beritakaltime.blogspot.com/2014/01/izin-pelabuhan-ancam-ekosistem-pesisir.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

"Obral Izin" Pelabuhan Ancam Ekosistem Pesisir Kutai Timur

namun jangan lupa untuk meletakkan link

"Obral Izin" Pelabuhan Ancam Ekosistem Pesisir Kutai Timur

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger