Indonesia-Malaysia, Pertaruhan Prestise

Written By Unknown on Jumat, 23 Mei 2014 | 12.16

JAKARTA, tribunkaltim.co.id  - Ada pikiran yang tak pernah terungkap antara di antara penggemar bulu tangkis, "China (sekarang Tiongkok), Korea, Denmark bahkan Jepang sekali pun boleh juara Piala Thomas. Asal bukan Malaysia!"

Pikiran serupa mungkin juga ada pada benak para penggemar bulu tangkis negeri jiran, Malaysia. Siapa pun sila bawa Thomas Cup, asal bukan indon(esia)!

Pemikiran ini sebenarnya bukan a historis. Ada sejarah panjang yang melatarinya. Semuanya bermuara pada persaingan dua bangsa yang pernah merasa serumpun ini. Terutama karena latar belakang politik.

Malaysia -saat bernama Malaya- adalah kakak tertua di ajang Piala Thomas. Mereka tak tertandingi kekuatan-kekuatan Eropa antara 1949 hingga 1957, hingga munculnya kekuatan baru dari selatan, Indonesia.

Tim Piala Thomas Indonesia yang dimotori Tan Joe Hok dan Ferry Sonneville muncul bagai Caesar, datang, tanding dan bawa pulang Piala. Malaya sebagai old established forces tidak mampu membendung gelombang new emerging force, Indonesia. Ini kali pertama Piala Thomas dibawa ke Jakarta.

Namun pemicu paling besar dari persaingan Indonesia dan Malaysia di ajang bulutangkis, khususnya Piala Thomas adalah era konfrontasi 1964-1967. Pemerintah Indonesia yang menganggap Malaysia merupakan negara boneka bentukan imperialis Inggris membawa masalah politik ke arena pertandingan. Karena itulah Indonesia sempat keluar dari komite olimpiade internasional (IOC).

Dalam kondisi seperti inilah terjadi peristiwa Scheele yang membuat langgeng persaingan Indonesia dan Malaysia di bulu tangkis, khususnya Piala Thomas. Wasit kehormatan IBF (sebelum BWF) asal Inggris, Herbert Scheele menghentikan pertandingan final Piala Thomas Indonesia-Malaysia di Istora Senayan dengan alasan penonton sudah menggangu jalannya pertandingan.

Saat itu Indonesia tertinggal 3-4, namun ganda putera tengah di atas angin dengan dukungan penonton. Scheele meminta pertandingan dihentikan dan IBF memutuskan diulang di Selandia Baru kemudian. Indonesia menolak dan Piala Thomas dipastikan "diberikan" kepada Malaysia.

Namun rakyat Indoensia menganggap, Piala itu hanya "dititipkan" di Kuala Lumpur. Tiga tahun kemduian, pada 1970, Rudy hartono dan kawan-kawan "merebut" kembali dengan mengalahkan tuan rumah Malaysia 7-2.

Namun luka sudah terlanjur terbuka dan membesar. Setiapkali bertanding di kandang lawan, para pemain menganggap ada tindakan tidak sportif yang dilakukan pihak tuan rumah untuik menjatuhkan moral lawan. Termasuk dari panitia dan penonton.

Seperti dirasakan Alan Budi Kusuma dkk saat bertanding di final melawan Malaysia di Kuala Lumpur pada 1992. "Saat itu kita dikerjain dengan hanya diberikan bus penjara sebagai sarana transportasi. Belum lagi, stadion tempat latihan yang dipenuhi para pendukung Malaysia,"kata Alan.

Situasi serupa juga dirasakan para pemain Malaysia bila bertanding di Jakarta. Pada final Piala Thomas 1994, Ong Ewe Hock menganggap sikap panitia dan penonton sudah keterlaluan hingga ia merusak permainan sendiri dengan membuang-buang bola. Saat itu Malaysia kalah 0-3.

Kali ini, Simon Santoso dkk akan kembali bertemu dalam pertarungan prestise di semifinal Piala Thomas melawan Lee Chong Wei dkk. Namun kali ini pertandingan berlangsung di tempat netral.

Berdasar statistik, Indonesia sudah 18 kali lolos ke final Piala Thomas dengan 13 di antaranya menjadi juara. Sementara Malaysia 13 kali lolos ke final dengan 5 di antaranya menjadi juara.


Anda sedang membaca artikel tentang

Indonesia-Malaysia, Pertaruhan Prestise

Dengan url

http://beritakaltime.blogspot.com/2014/05/indonesia-malaysia-pertaruhan-prestise.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Indonesia-Malaysia, Pertaruhan Prestise

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Indonesia-Malaysia, Pertaruhan Prestise

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger